Peluang Profit dari Sektor Properti (Lesson 1: Introduction and Leading Indicator)
Anda sedang membaca artikel pertama dari seri "Peluang Profit dari Sektor Properti". Untuk mengakses artikel lainnya, anda bisa klik link dibawah ini:
Setelah menyelesaikan seri Value Investing yang terdiri dari 9 artikel, pada kesempatan kali ini penulis akan membagikan ilmu mengenai sektor properti secara mendalam. Bila kita lihat, saat ini emiten properti banyak yang sedang undervalue, salah satunya yang kebetulan merupakan pegangan penulis adalah BSDE, yang saat ini berada pada harga 985/ lembar merefleksikan PBV 0,68x. Disisi lain, banyak berita diluar sana yang mengatakan kalau sektor properti sudah mulai bangkit dimana kita bisa melihat dari peningkatan marketing sales semester 1 2021 dan juga kasus covid yang semakin membaik (posisi hari ini 6 ribu kasus). Selain itu, bisa dibilang bahwa pemerintah peduli terhadap emiten properti dikarenakan naturenya yang padat karya dan juga multiplier effect yang diciptakan. Peningkatan pada sektor properti juga akan mendorong peningkatan kinerja sektor lain seperti banking, basic industry, dan juga konstruksi. Tanpa berlama lama, mari kita pelajari bersama-sama.
Saat ini, terdapat 70 perusahaan properti di BEI dimana angka tersebut melambangkan 10% dari emiten publik yang ada. Sektor properti sendiri dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu properti residensial dan properti komersial. Disatu sisi, properti residensial memiliki segmen bisnis yang terdiri dari rumah hunian, apartemen, office building, dan juga hotel (sebagai contoh BSDE, CTRA, LPCK, PWON, JRPT, APLN, dan ASRI). Disisi lain, properti komersial bisnisnya terdiri dari kawasan industri dan sewa menyewa office building (sebagai contoh BEST, KIJA, DMAS). Sektor properti sendiri sempat mengalami masa kejayaannya pada tahun 2010-2014. Pada saat itu ekonomi Indonesia sangat berkembang dengan GDP Growth di kisaran 6-7%, yang tentunya tidak terlepas dari commodity boom yang sangat menguntungkan negara kita. Anda mungkin masih ingat jaman itu, dimana setiap tahun harga ruko ruko naik diatas 20% dan tidak sedikit pengusaha yang membeli rumah/apartemen hingga 4 unit. Daya beli yang tinggi dari masyarakat kita, juga diiringi dengan penyaluran KPA (Kredit Pemilikan Aparteman) dan KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang tinggi. Alhasil, emiten properti berpesta porak dimana penjualan properti secara agregat mengalami peningkatan 22% per tahun selama periode 2010-2014, dan harga sahamnya pun turut mengikuti (sebut saja CTRA yang naik dari 300 an ke 1400 an).
Sayangnya masa kejayaan tersebut harus terhenti, dimana pada tahun 2015-2016 sektor properti mulai mengalami penurunan yang berlangsung hingga saat ini. GDP growth Indonesia turun menjadi sekitar 5% yang juga diiringi dengan kenaikan BI rate yang tinggi hingga mencapai 7,5-8% yang mengakibatkan suku bunga KPR mencapai 12%. Terlebih lagi, ekonomi kita harus terhantam oleh covid hingga mengalami resesi pada tahun 2020. Lantas selain dari valuasinya yang sedang terdiskon, apa yang menyebabkan sektor properti ini menarik? Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita perlu meninjau lebih dalam mengenai leading indicator sektor properti, baik dari segi makro maupun mikro.
Dari segi makro, pertama penulis ingin menghighlight fakta bahwa BI rate sedang berada pada all time low yaitu 3,5% yang menagkibatkan suku bunga KPR berada pada kisaran 8%. Hal tersebut disertai dengan syarat DP yang lebih rendah dan fleksibel akan meningkatkan minat beli masyarakat. Faktanya, 74% pendanaan masyarakat berasal dari KPR, 17% berasal dari tunai, dan 9% berasal dari tunai. Kedua, pemerintah memberlakukan kebijakan dari segi fiskal yaitu pembebasan PPN hingga akhir tahun untuk properti yang bernilai dibawah 2M dan diskon 50% untuk properti yang bernilai diantara 2M-5M. Ketiga, perkembangan infrastruktur di Indonesia yang cukup pesat merupakan pendorong pertumbuhan sektor properti. Sebut saja perkembangan ruas jalan tol, pembangunan LRT dan MRT yang mendukung mobilitas dan konektivitas warga.
Dari segi mikro, yang pertama adalah reputasi emiten. Emiten yang memiliki reputasi buruk umumnya tidak pernah memenangkan Indonesia Property Awards, memiliki proyek yang terbengkalai, atau direksinya pernah tersangkut kasus hukum. Hal hal diatas akan mengakibatkan perusahaan lebih sulit dalam menjual produknya. Yang kedua adalah marketing sales, atau terkadang disebut sebagai pra penjualan/ kontrak penjualan. Marketing sales terjadi ketika nasabah telah melakukan akad dan pembayaran down payment kepada pihak developer, yang nantinya akan dicatatkan sebagai liabilitas. Nominal tersebut akan diakui sebagai penjualan pada saat developer telah melakukan serah terima dengan pihak nasabah itu sendiri. Selain itu, perusahaan selalu mengumumkan target marketing sales untuk tahun bersangkutan, yang dapat kita jadikan patokan untuk memprediksi penjualan emiten pada tahun mendatang. Yang ketiga adalah landbank yaitu lahan yang belum dikembangkan untuk menjamin keberlangsungan usaha perusahaan. Yang keempat dan terakhir adalah portofolio pricing agar kita bisa mengetahui harga dan jenis produk yang ditawarkan. Kita dapat membandingkannya dengan perusahaan kompetitor maupun minat dan daya beli masyarakat.
Sekian dulu untuk artikel kali ini. Bagaimana pendapat anda terhadap emiten di sektor properti? Meski saat ini terkesan kurang diminati, penulis sendiri memiliki prinsip untuk masuk ke sebuah saham sebelum keretanya jalan, yaitu disaat tiba tiba perusahaan kinerjanya confirm cemerlang dan mendadak sahamnya ramai dibicarakan. Namun tentunya agar keputusan kita dalam berinvestasi semakin bijak, kita perlu mempelajari lebih dalam mengenai kondisi bisnis saat ini dan juga prospek kedepannya. Kebetulannya, hal tersebut lah yang akan penulis bahas pada artikel kedua seri properti ini. So, bersabarlah dan sampai berjumpa di lain kesempatan.
Salam Cuan,
Filbert
Comments
Post a Comment