Cyclical Opportunity: Harga CPO Mencapai Level Tertinggi (Value Investing: Lesson 8)

Anda sedang membaca artikel kedelapan dari seri "Value Investing". Untuk mengakses artikel lainnya, anda bisa klik link dibawah ini:

-Lesson 1: 6 Types of Company (Part 1)
-Lesson 2: 6 Types of Company (Part 2)
-Lesson 3: Financial Check Up
-Lesson 4: Metode Valuasi PER (Case Study TOTL)
-Lesson 5: Metode Valuasi PER (Case Study MTDL)
-Lesson 6: Metode Valuasi Net-Net (Case Study ADMG)
-Lesson 7: Metode Valuasi Asset Plays (Case Study BSDE)
-Lesson 8: Cyclical Opportunity (Case Study TBLA)
-Lesson 9: When to Sell & Money Management


Bila anda membuka aplikasi seperti CNBC, maka kemungkinan besar anda akan melihat berita terkait CPO setiap harinya dan beritanya cenderung positif. Dan memang, setelah bergerak sideways selama 10 tahun terakhir dan bahkan menyentuh bottomnya pada RM 2000/ Ton pada Mei 2020, harga CPO terus mengalami kenaikan dimana pada tahun 2021 ini harganya sudah berada pada kisaran RM 3400-4500/ Ton. Dengan logika sederhana, hal tersebut berarti average selling price (ASP) dari perusahaan sawit akan mengalami kenaikan signifikan dimana seharusnya emiten sawit akan membukukan kinerja cemerlang di tahun 2021 ini. Namun di sisi lain, harga sejumlah emiten CPO relatif berlum bergerak naik. Katakanlah AALI yang sekarang berada pada posisi 8375, LSIP di harga 1150, dan TBLA pada posisi 790. Apa yang menyebabkan harga emiten sawit seolah masih jalan ditempat? Untuk menjawab pertanyaan diatas, mari kita pelajari bersama beberapa fakta berikut.


Dalam ekonomi, kita mempelajari kalau harga suatu barang ditentukan oleh supply dan demand, dimana kenaikan harga yang signifikan akan terjadi dikarenakan demand yang naik drastis atau supply yang turun signifikan. Dari segi demand sendiri, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatatkan hingga Mei 2021, konsumsi lokal sebesar 7,86 juta ton. Angka tersebut mengalami kenaikan 7,2% secara YOY bila dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Fenomena serupa juga ditunjukan dari segi ekspor, yaitu mengalami kenaikan dari 12,38 juta ton di tahun 2020 menjadi 13,75 juta ton selama 5 bulan pertama di tahun 2021. Meskipun terdapat kenaikan dari segi konsumsi lokal maupun ekspor, namun kenaikannya pun tidak begitu signifikan. Disini lah kita mulai menduga kenaikan harga CPO disebabkan oleh supply yang menurun. Dan memang bila kita telusuri, negara produsen CPO lain (seperti Malaysia) tengah mengalami hambatan produksi dan stock CPO pun turun signifikan dibanding tahun lalu.

Revenue Breakdown TBLA (Company Presentation)

Lantas, kenaikan harga komoditas seperti ini dianggap kurang menarik bila dibandingkan kenaikan harga yang disebabkan peningkatan demand. Tapi, tetap saja harga emiten CPO saat ini bisa dibilang sedang undervalue dimana penulis sendiri paling suka sama yang namanya diskon. Pilihan penulis disektor ini adalah TBLA, yang konsisten membukukan Return on Equity (ROE) dikisaran 12-20% dan memiliki prospek cerah melalui ekspansi perusahaan yang selama ini terbukti sukses baik dari usaha CPO maupun usaha gulanya, namun saat ini diperdagangkan pada PER 5,4x dan PBV 0,7x. Seperti pada gambar diatas, kita dapat mengkategorikan sumber pendapatan TBLA menjadi gula (30%) dan CPO related (70%). Perusahaan berupaya dalam melakukan downstream CPO melalui brand minyak goreng Rosebrand dan juga melalui penjualan Biodiesel yang mengindikasikan manajemen perusahaan pekerja keras. Dan memang bila diperhatikan pada gambar dibawah, produksi biodiesel dari TBLA menunjukan kenaikan yang sangat signifikan, which is good. Lonjakan tersebut terjadi dikarenakan keberhasilan pemerintah dalam mengimplementasikan program biodieselnya. 


Pada akhir tahun 2019 pemerintah meluncurkan program biodiesel B30, yang merupakan campuran 70% solar dan 30% CPO sebagai BBM kendaraan bermesin diesel. Program ini merupakan lanjutan dari B20 yang sudah dijalankan sejak 2018 dan terbukti sukses. Dan pada saat artikel ini ditulis, pemerintah melalui Pertamina kini sedang mengembangkan program B40 untuk kedepannya. Hal tersebut merupakan angin segar dimana perusahaan sawit di Indonesia tidak harus menjual CPO keluar negeri, melainkan bisa juga menjualnya ke Pertamina. Konsumsi CPO untuk biosolar diperkirakan akan mencapai 8 juta ton untuk tahun 2021, dimana angka tersebut lumayan besar bila dibandingkan dengan produksi CPO Indonesia yang sebesar 47 juta ton per tahun, dan tentunya akan berdampak pada kinerja TBLA kedepannya. 


Lantas apakah sekarang saat yang tepat untuk mengakumulasi TBLA? Jawabannya tentu iya, dimana penulis sendiri melakukan valuasi menggunakan beberapa metode dan mendapatkan harga wajar TBLA berada pada kisaran 1600 an. Meski sekilas terlihat perusahaan memiliki hutang yang besar (Modified DER 160%), namun penulis tidak khawatir dikarenakan perusahaan menggunakan hutangnya dengan produktif. Pertama, perusahaan semakin gencar mengembangkan bisnis di bidang sawit dan sugar refining dengan adanya 2 pabrik baru yang akan selesai tahun ini. Selain itu, TBLA akan memperluas kebun tebunya dimana hal tersebut akan berdampak positif pada kinerja perusahaan kedepan mengingat pergerakan harga gula yang stabil, margin profit yang lebih tinggi dibanding produk CPO lainnya, dan kebutuhan gula nasional yang jauh melebihi supply yang ada (much room to grow). Alasan-alasan tersebutlah yang membuat penulis percaya diri dan memutuskan untuk melakukan pembelian TBLA, ditambah Margin of Safety (MoS) yang ditawarkan sebesar 50%. Apakah anda juga tertarik untuk berinvestasi pada perusahaan sawit? Apapun keputusannya, jangan lupa untuk melakukan analisa terlebih dahulu dan semoga kita bisa meraup profit bersama. Semoga bermanfaat.


Salam Cuan,
Filbert



Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Jatuh Bangun 2023

Dilemma (Case Study)

Artikel KKGI