Peluang Profit dari Sektor CPO (Lesson 2: Leading Indicators and Prospects)
Anda sedang membaca artikel kedua dari seri "Peluang Profit dari Sektor CPO". Untuk mengakses artikel lainnya, anda bisa klik link dibawah ini:
Bila pada artikel sebelumnya kita membahas pengenalan dan bisnis proses CPO, pada kesempatan kali ini kita akan membahas leading indicators dan prospects sektor CPO. Sebelum membedah emiten CPO satu per satu, kita harus bisa membandingkan produktivitas mereka. Faktor utama yang mempengaruhi produktivitas adalah usia tanaman. Kelapa sawit paling produktif ketika berusia 10-15 tahun dan memiliki masa hidup 25 tahun, dengan musim panen pada bulan Maret hingga Oktober.
Selain itu, terdapat beberapa indikator yang dapat menggambarkan efisiensi perusahaan dalam menghasilkan CPO. Pertama adalah yield TBS (produksi TBS/ lahan menghasilkan) yang menandakan kemampuan perkebunan menghasilkan TBS dalam satuan hektar. Kedua adalah yield CPO (produksi CPO lahan sendiri/ lahan menghasilkan) yang merupakan kemampuan menghasilkan CPO dari TBS yang dipanen. Ketiga adalah extraction rate CPO (CPO/ total TBS diolah) dan extraction rate PKO (PKO/ total TBS diolah) yang menandakan kemampuan perusahaan dalam mengekstraksi minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit dari buah kelapa sawit. Semakin tinggi produktivitas sebuah perusahaan maka semakin baik.
Sekarang mari kita bahas prospek sektor CPO. Setiap tahun, Indonesia memproduksi 51 juta ton CPO dimana lebih dari 70% nya diekspor dengan negara tujuan utama China, India, dan Uni Eropa. Sayangnya, terdapat 2 tantangan industri yang membebani emiten CPO di Indonesia. Yang pertama adalah naiknya bea masuk India yang dulunya sebesar 7,5% di tahun 2017, menjadi 37,5% di tahun 2020. Pada akhir 2021, bea masuk tersebut telah turun menjadi 30,25%. Yang kedua adalah ban yang dilakukan Uni Eropa terhadap produk CPO Indonesia dikarenakan anggapan bahwa produksi kelapa sawit merupakan penyebab deforestasi lahan.
Meski sektor CPO harus mengalami tantangan berat dari segi ekspor, untungnya terdapat katalis positif dari dalam negeri. Pada akhir tahun 2019 pemerintah meluncurkan program biodiesel B30, yang merupakan campuran 70% solar dan 30% CPO sebagai BBM kendaraan bermesin diesel. Konsumsi biodiesel pada tahun 2021 sebesar 9 juta kiloliter dan diperkirakan akan meningkat menjadi 14 juta kiloliter pada tahun 2025 seiring diterapkannya B40 (40% dari CPO) dimasa depan. Program ini dipercaya dapat menyerap produksi CPO sehingga kita tidak perlu terlalu bergantung terhadap ekspor.
Dari segi harga CPO itu sendiri, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Ketika terjadi El Nino, harga CPO cenderung naik karena terjadi penurunan supply. Penurunan stockpile CPO di Malaysia sejak akhir 2019 juga menyebabkan peningkatan harga CPO yang berlangsung hingga sekarang. Selanjutnya mengingat fungsi CPO sebagai substitusi oil untuk bensin, harga oil yang sedang tinggi saat ini mengakibatkan CPO semakin menarik. Dari segi ekonomis sendiri CPO juga sangat menarik dikarenakan harganya yang jauh dibawah edible oil lain seperti sunflower dan soybean oil.
Sebagai kesimpulan, pertama kita membahas mengenai rasio produktivitas yang nantinya akan kita gunakan untuk membandingkan emiten CPO. Selanjutnya meski sektor CPO harus mengalami tantangan dari segi ekspor, program B30 pemerintah terbukti dapat menyerap sebagian produksi dalam negeri sehingga mengurangi ketergantungan akan ekspor. Terakhir harga CPO dipengaruhi banyak faktor seperti cuaca, inventory malaysia, dan harga barang substitusi seperti oil dan edible oil. Sekian untuk artikel kali ini, pada artikel berikutnya kita akan membedah emiten sawit milik Astra yaitu AALI. Terima kasih dan sampai jumpa dilain waktu.
Salam Cuan,
Filbert
Comments
Post a Comment