Peluang Profit dari Sektor CPO (Lesson 4: Case Study LSIP)
Anda sedang membaca artikel keempat dari seri "Peluang Profit dari Sektor CPO". Untuk mengakses artikel lainnya, anda bisa klik link dibawah ini:
PT. PP London Sumatra Indonesia (LSIP) didirikan pada tahun 1906 dan listing di bursa pada tahun 1996. Pada tahun 2007, grup Indofood melalui anak usahanya SIMP mengakuisisi LSIP dan menjadi pemegang saham mayoritas hingga saat ini. Sebagai emiten sawit dengan historis fundamental terbaik di BEI, disertai valuasi yang menarik, tentu LSIP menarik perhatian penulis. Pada tahun 2012 disaat CPO berada dilevel RM 3500/ton, LSIP berhasil membukukan ROE 25% dan harga sahamnya sempat tembus 3000. Namun serupa dengan perusahaan sawit lainnya, LSIP membukukan penurunan kinerja dalam 5 tahun terakhir dan hanya membukukan ROE single digit, sebelum kembali naik menjadi 10% di tahun 2021. Alhasil sahamnya ikut turun dan saat ini perusahaan diperdagangkan pada harga 1170/ lembar yang menggambarkan PER 8x dan PBV 0,81x. Menariknya penjualan perseroan menggunakan harga spot sehingga dapat langsung menikmati peningkatan harga rerata CPO. Mari kita pelajari lebih lanjut untuk menentukan apakah LSIP menarik untuk dikoleksi.
LSIP memiliki lahan perkebunan seluas 148 ribu Ha yang terbagi menjadi kelapa sawit (86,5%), karet (11%), dan lainnya (2,5%). Secara kepemilikan, 79% dari lahan tersebut merupakan lahan inti milik perusahaan dan sisanya merupakan lahan plasma hasil kerja sama dengan warga setempat. Tanaman perusahaan terbagi menjadi belum menghasilkan (<7 tahun) sebesar 11%, tanaman produktif (7-20 tahun) sebesar 48%, dan tanaman tua (>20 tahun) sebesar 41%. Secara keseluruhan, umur rata rata tanaman sawit perusahaan adalah 16 tahun.
Pada tahun 2020 perusahaan menghasilkan 1,29 juta ton TBS dan melakukan pembelian eksternal 190 ribu ton, yang kemudian diolah menjadi 324 ribu ton CPO dan 98 ribu ton Kernel. Dari angka tersebut kita dapat menghitung rasio produktivitas tahun 2020 yaitu yield TBS sebesar 15,1 ton/Ha, yield CPO sebesar 3,3 ton/Ha, extraction rate CPO dan Kernel sebesar 21,9% dan 6,6%. Bila dibandingkan AALI, LSIP memiliki yield TBS yang lebih rendah namun kekurangan tersebut ditutupi dengan extraction rate yang lebih tinggi. Untuk tahun 2021, perusahaan diproyeksi akan menghasilkan 351 ribu ton CPO. Sebagai informasi tambahan, perseroan cukup agresif dalam replanting pada tahun 2020 dan 2021.
Produk kelapa sawit menyumbang 94% dari pendapatan perusahaan sedangkan sisanya disumbang dari penjualan karet dan benih. Hampir seluruh penjualan CPO perusahaan dilakukan kepada SIMP, yang merupakan induk usahanya, menyesuaikan harga pasar sehingga tidak merugikan LSIP. SIMP sendiri merupakan pemegang merk minyak goreng (Bimoli, Happy, Delima), dan margarin (Amanda, Palmia, Simas). Dari segi kinerja, dalam 5 tahun terakhir LSIP mengalami penurunan produksi TBS sebesar 15%, yang mengakibatkan terjadinya penurunan pada produksi CPO dan Kernel. Meskipun begitu profitabilitas perusahaan membaik pada tahun 2020 dan 2021 dikarenakan average selling price yang naik dari 500 di 2018, 476 di 2019, 611 di 2020, menjadi $1036/ton di 2021 seiring dengan terjadinya kenaikan harga CPO. Untuk kedepannya penulis menilai volume penjualan akan stagnan dan ASP akan berfluktuasi di area sekitar 1000/ton, yang menjadikan EPS jangka panjang disekitar 130.
Sebagai kesimpulan bila dibandingkan dengan AALI, penulis lebih suka dengan LSIP (meski saya tidak ada posisi di emiten CPO). Oil extraction rate yang superior disertai dengan estimasi peningkatan TBS di tahun mendatang hingga kembali ke 1,5 juta ton menjadi nilai plus bagi LSIP. Terlebih neraca keuangan perusahaan bersih dari hutang berbunga. Penulis menilai harga wajar LSIP adalah 1550 yang berarti harga sekarang menawarkan Margin of Safety (MoS) 25%. Sekian untuk artikel kali ini. Pada kesempatan berikutnya kita akan membahas emiten sawit grup Sinarmas yaitu SGRO. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa dilain waktu.
Salam Cuan,
Filbert
Comments
Post a Comment